Saturday, November 19, 2011

Mengatasi Marah

Elizabeth Kenny, seorang perawat yang menciptakan Kenny Methods untuk perawatan penderita polio, suatu hari bertemu dengan sahabatnya, sesama perawat yang sedang marah-marah. Elizabeth tahu beban-beban pekerjaan temannya tersebut, tetapi ia berusaha menasihati supaya temannya tersebut dapat menjaga emosinya. “Ayolah, berusahalah tetap riang dan tersenyum,” kata Elisabeth.

Dengan nada yang masih agak kesal, temannya berkata, “Mudah bagimu untuk mengatakannya. Dengan beban sebanyak ini bagaimana saya nggak marah-marah tiap hari! Namun, saya sendiri bingung, bagaimana caranya kamu bisa menjaga dirimu supaya tetap tersenyum?”


Dengan senyum khasnya, Elizabeth pun bercerita. Suatu ketika ia sedang begitu marahnya pada temannya karena persoalan yang sebenarnya sepele. Lantas, ia dinasihati ibunya yang kini selalu jadi pedomannya, yakni, “Elizabeth, ingatlah. Orang yang bisa membuatmu marah, berarti ia telah menaklukkanmu.”
Pembaca, sebenarnya marah atau tidaknya kita, lebih tergantung pada respon kita daripada penyebabnya. Sayangnya, kita seringkali membiarkan orang lain maupun situasi yang menaklukkan dan mengendalikan tombol kemarahan kita.

Saat di dalam antrean yang panjang, saat mobil kita disalip, saat berdebat untuk hal-hal yang sepele, saat benda yang kita butuhkan justru macet bekerja, saat tidak mendapatkan pelayanan yang kita harapkan, saat kata-kata orang tidak seperti yang kita harapkan, semuanya dengan cepat memicu api kemarahan kita.
Bertahun-tahun melakukan studi tentang kemarahan melalui kecerdasan emosional, membuat saya yakin amarah bukanlah faktor genetik, bukanlah sesuatu yang tak dapat dikendalikan, tetapi suatu proses yang bisa dipelajari. Sayangnya, tidak banyak sekolah ataupun pembelajaran yang mengajarkan bagaimana kita bisa mengelola kemarahan lebih baik. Padahal, akibat serta dampak negatif dari kemarahan tersebut sudah tidak terhitung banyaknya.

Saya mengenal beberapa orang yang sempat mendekam di penjara karena kemarahannya yang tidak terkendali. Saya pun mengenal karyawan yang kariernya mandek hanya karena pernah khilaf dan kehilangan kendali emosinya di depan bosnya.

Ada juga keluarga yang akhirnya retak gara-gara sang suami tidak bisa mengendalikan emosinya. Bayangkan, sudah berapa banyak ongkos yang harus dibayarkan gara-gara emosi yang tidak terkendali ini.

Berpikir positif
Kadang-kadang memang banyak situasi orang lain akhirnya memicu kemarahan kita. Karena cara berpikir mereka yang aneh, karena kata-kata mereka yang menyakitkan, karena tindakan mereka yang membuat ‘panas’ hati Anda. Apa pun tindakan mereka, sebenarnya ada suatu prinsip yang mengajarkan, “Selalu ada intensi yang baik di balik perilaku seseorang”. Meskipun intensi tersebut tidaklah selalu sesuatu yang pas dan bisa Anda terima, tetapi sesuatu itu bisa jadi positif. Misalkan saja, seorang rekan saya belum lama ini kehilangan seekor ikan arwananya yang berharga jutaan rupiah. Gara-garanya sangat sederhana. Ketika ia sedang keluar kota, istrinya mencoba mencuci akuariumnya. Rupanya justru tindakan itu membunuh ikan mahalnya. Saat pulang, ia begitu murka tahu ikan kesayangannya telah mati. Akhirnya, selama seminggu lebih mereka tidak ngomong satu sama lain, karena betul-betul merasa marah.
Jadi, prinsip pertama yang perlu dipelajari di sini adalah melihat adanya intensi atau niat baik di balik perilaku maupun tindakan seseorang. Dengan cara ini, biasanya level kemarahan kita yang tinggi akan lebih terkendali karena akhirnya kita mulai mecoba melihat bahwa ada alasan yang ’sebenarnya baik’ di balik perilaku seseorang tersebut.

Seperti kisah si istri yang mencuci akuarium suaminya, sebenarnya kan maksudnya baik yakni ‘membersihkan akuarium kotor sehingga ikannya tidak mati’. Namun justru perilaku tersebut membuat ikan suaminya malah mati. Maksudnya si istri sebenarnya kan baik?

Nah, hal berikutnya yang dapat mengendalikan emosi kita adalah memahami bahwa terkadang orang mempunyai banyak masalah dan problem yang di lemparkannya kepada kita. Yang sebenarnya punya masalah dan punya problem adalah orang lain, tetapi karena tidak tahu harus mengeluarkannya ke mana, akhirnya kitalah yang kena getahnya. Dengan memahami hal ini, maka kita pun akan menjadi lebih tenang menghadapi orang lain yang kesal ataupun marah.

Saya pun teringat seorang yang bekerja di bagian customer service yang selalu bisa mengendalikan dirinya dengan baik tatkala menghadapi komplain yang begitu banyak. Saat ditanya mengenai strateginya, ia mengatakan, “Kenapa harus menanggapi orang marah dengan kemarahan? Kita kan tidak apa-apa. Mungkin pihak dianya sedang ribut dengan istri dan anaknya.”
Mungkin dia lagi punya masalah di kantor. Bayangkan, dia mungkin punya masalah dan ternyata produk kami membuatkan masalah ‘baru’ buat dirinya. Itulah sebabnya dia jadi marah-marah. “Saya tidak perlu gusar. Tugas saya justru membantu melegakan bebannya dengan memberikan solusi buatnya.” Wow, sungguh suatu respons yang sangat luar biasa.

Termometer emosimu
Saya sering kali mengajari orang mengendalikan emosi dengan teknik membayangkan seakan-akan dalam tubuh kita terdapat sebuah termometer yang dapat mengukur emosi kita. Berikanlah batas-batas pada termometer emosi kita di mana kita tahu emosi kita masih termasuk wajar dan terkendali. Namun, sadarilah dan waspadalah tatkala kita merasa bahwa termometer emosi kita sudah menunjukkan tanda-tanda alarm yang berbahaya. Untuk bisa peka dengan termometer ini, satu-satunya cara adalah dengan menjadi peka kapankah tanda-tanda bahasa tubuh, reaksi fisik di mana biasanya berarti emosi Anda mulai tidak terkendali.

Seorang sahabat saya mengatakan, “Kalau saya mulai diam dan jantung saya mulai berdegup kencang dan seluruh tubuh saya rasanya siap untuk memukul. Saat itulah saya tahu, kemarahan saya sudah di ambang batas”.
Biasanya kalau sudah begitu, teman saya mengatakan ia akan minta izin keluar ataupun pergi meninggalkan situasi tersebut supaya ia tidak perlu lebih terpicu emosinya. Bahkan, kalau tidak punya pilihan maka yang ia akan lakukan adalah duduk serta mengatur pernapasannya. Intinya, ia berusaha supaya emosinya tidak terpicu semakin ebih tinggi.

Memang, di dalam pelajaran Kecerdasan Emosional terdapat istilah eskalator emosi, yang berarti pada saat emosi kita tidak kita kendalikan, kecenderungannya adalah emosi tersebut biasanya akan menjadi semakin tereskalasi atau semakin meninggi. Kalau tidak percaya cobalah perhatikan orang yang berantem. Awalnya, hanya saling mengejek. Lantas dari situ, mulailah saling memaki dan berikutnya mulailah tindakan fisik terjadi.

Ini menunjukkan proses eskalator emosi, seperti eskalator yang bergerak naik di malmal. Kalau sudah demikian, maka kita harus sadar sebelum eskalator emosi kita bergerak ke atas semakin tak terkendali, kita harus menghentikannya dan kita harus keluar dari eskalator tersebut.

Semoga beberapa butir mutiara pencerahan dari kecerdasan emosional ini membuat kita mampu mengendalikan kemarahan kita menjadi sesuatu yang lebih positif. Mari kita selalu berpegang pada prinsip, “Bukan emosi yang mengendalikan saya tetapi sayalah yang mengendalikan emosi saya setiap hari!”
»»  READMORE...

Friday, November 18, 2011

Kisah Inspirasi Untuk Para Istri Dan Suami

Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa yang kita miliki :

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.

Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.

Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.

“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.

Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”

“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.

Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.

Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.

Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.

Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.

Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.

Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.

Istriku Liliana tersayang,

Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.

Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.

Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.

Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!

Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.

Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”

Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”

Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”

Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”

Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.
»»  READMORE...

Menengadah Ke atas

Seorang mandor bangunan yang berada di lantai 5 ingin memanggil pekerjanya yang lagi bekerja dibawah.. Setelah sang mandor berkali-kali berteriak memanggil, si pekerja tidak dapat mendengar karena fokus pada pekerjaanya dan bisingnya alat bangunan.. Sang mandor terus berusaha agar si pekerja mau menoleh keatas, di lemparnya uang 1.000-an rupiah yang jatuh tepat di sebelah si pekerja..Si pekerja hanya memungut uang Rp 1.000 dan melanjutkan pekerjaanya.. Sang mandor akhirnya melemparkan Rp 100.000 dan berharap si pekerja mau menengadah "sebentar saja" ke atas.. Akan tetapi si pekerja hanya lompat kegirangan karena menemukan uang Rp 100.000 dan kembali asyik bekerja.. Pada akhirnya sang mandor melemparkan batu kecil yang tepat mengenai kepala si pekerja.. Merasa kesakitan akhirnya si pekerja baru mau menoleh ke atas dan dapat berkomunikasi dengan sang mandor..... Cerita tersebut diatas sama dengan kehidupan kita!!!Tuhan selalu ingin menyapa kita··········akan tetapi kita selalu sibuk mengurusi "dunia" kita !!!!. Kita di beri rejeki sedikit maupun banyak, sering kali kita lupa untuk menengadah bersyukur.. !!!!!Bahkan lebih sering kita tidak mau tau dari mana rejeki itu datangnya····Bahkan kita selalu bilang····· kita lagi "HOKI!"Yang lebih buruk lagi kita menjadi takabur dengan rejeki milik Tuhan····!! Jadi jangan sampai kita mendapatkan lemparan "batu kecil" yang kita sebut musibah! agar kita mau menoleh kepada Tuhan.Sungguh····!!!! Tuhan sangat mencintai kita···
»»  READMORE...

Wednesday, November 16, 2011

A Boy and Butterfly.

Suatu hari ada seorang anak laki laki sedang memperhatikan sebuah kepompong ....eeh ternyata didalamnya ada kupu 2 ...yang sedang berjuang untuk melepaskan diri dr dalam kepompong.

Kelihatannya ..begiiiitu sulitnya.
Si anak laki laki tersebut merasa kasihan pada kupu2 tersebut dan berpikir cara untuk membantu si kupu kupu agar bisa keluar dengan mudah.

Akhirnya si anak laki 2 tadi menemukan ide dan segera mengambil gunting dan membantu memotong kepompong agar kupu kupu bisa segera keluar dr sana.

Alangkah senang dan leganya si anak laki laki tsb.Tetapi apa yang terjadi ???
Si kupu kupu memang bisa keluar dari sana.
Tetapi Kupu kupu tersebut tidak dapat terbang, hanya dapat merayap.apa sebabnya???

Ternyata bagi seekor kupu2 yg sedang berjuang dari kepompongnya tersebut, yang mana pada saat dia mengerahkan seluruh tenaganya, ada suatu cairan didalam tubuhnya yg mengalir dengan kuat ke seluruh tubuhnya yang membuat sayapnya bisa mengembang sehingga ia dapat terbang, ttp karena tidak ada lagi perjuangan tsb maka sayapnya tidak dpt mengembang shg jadilah ia seekor kupu kupu yg hanya dpt merayap.

Kadangkala good intention, niat baik kita belum tentu menghasilkan sesuatu yang baik.
Sama seperti pada saat kita mengajar anak kita atau teman kita.
Kadangkala kita sering membantu mereka karena kasihan atau rasa sayang, tapi sebenarnya malah membuat mereka tidak mandiri.

Membuat potensi dalam dirinya tidak berkembang.
Memandulkan kreativitas,karena kita tidak tega melihat mereka mengalami kesulitan, yg sebenarnya jika mrk berhasil melewatinya, mereka justru menjadi KUAT.

Demikian juga pada saat kita sedang hrs berjuang menghadapi sesuatu, jangan mengharapkan bantuan orang lain , berjuanglah dahulu dengan mengerahkan segala kemampuanmu.

Hidup penuh dengan PERJUANGAN..........
Supaya "SAYAP" kita bisa terkembang dengan sempurna , untuk kita pakai "TERBANG" melewati masalah kita. °◦♥Ǥoϑ ϐlЄss ўoύ♥◦°
»»  READMORE...

Tuesday, November 15, 2011

SURAT DARI SAPI

Dear Friend's, 
Aku tak tahu Anda apakah teman atau bukan, aku tak peduli itu. Aku hanya berharap Anda mau mendengar dan mau menjadi sahabatku yg baik. Dengarlah, aku berharap semoga suatu hari nanti ada kehidupan yg lebih baik bagi kaum2 ku. Ada belas kasihan atas nasib yg kami jalani saat ini.
Sejak kecil aku sdh tidak bebas. Diikat dan dikurung di kandang yg sempit, sungguh pengab dan menyiksa. Utk berbalik badan saja aku tak bisa, bahkan utk berbaringpun tak cukup luas. Tubuhku selalu disuntik dgn berbagai macam obat. Agar aku bernafsu makan terus, agar tubuhku terus gemuk, agar staminaku kuat, agar aku hamil terus dan mengasilkan susu. Sahabatku, tahukah kamu... Aku letih sekali.... Aku sakit sekali..... Aku stress sekali.. Tubuhku penuh dgn alat pompa, susuku disedot dgn mesin. Sakit dan perih, penuh dgn luka. Sampai ketika aku sudah tak berdaya, ketika susuku sudah tak ada, maka tibalah aku akan menghadapi ajal itu dgn cara menyakitkan. Kakiku diikat dan tubuhku digantung berjam2 hingga aku lemas, lalu leherku ditusuk, satu tusukan yg tidak langsung membuatku mati, bahkan aku msh bisa merasakan panasnya darah yg keluar dari tubuhku ditengah2 rasa sakit yg luar biasa yg tak akan bisa dilukiskan dgn kata2 bagaimana rasa kesakitan itu. Lalu tubuhku dipotong2, dagingku dimakan oleh kaum mu dan tulang belulangku dibuang ke tempat sampah.
Jikalau anda adalah aku, tentu anda juga tidak sanggup menahan rasa sakit yg kuterima selama ini.
Oleh sebab itu, mengapa engkau selama ini menyiksaku?
Melalui surat ini aku ingin menyampaikan, sekalipun aku adalah SAPI, namun ketahuilah, aku juga punya perasaan seperti Anda seorang manusia.
Pesan: Renungan anda sangatlah berpengaruh terhadap Nyawaku dan teman2 ku yg beda jenis.
Tolong sebarkan suratku ini.
Terima kasih.
»»  READMORE...

Tidak Baik mencurigai sebelum tau akan kebenarannya

Seorang wanita sedang menunggu di bandara suatu malam.

Masih ada beberapa jam sebelum jadwal terbangnya tiba. Untuk membuang waktu, ia membeli buku dan sekantong kue di toko bandara lalu menemukan tempat untuk duduk. Sambil duduk wanita tersebut membaca buku yang baru saja dibelinya.

Dalam keasyikannya tersebut ia melihat lelaki disebelahnya dengan begitu berani mengambil satu atau dua dari kue yang berada diantara mereka. Wanita tersebut mencoba mengabaikan agar tidak terjadi keributan.

Ia membaca, mengunyah kue dan melihat jam. Sementara si Pencuri Kue yang pemberani menghabiskan persediaannya. Ia semakin kesal sementara menit-menit berlalu.Wanita itupun sempat berpikir Kalau aku bukan orang baik, sudah kutonjok dia!

Setiap ia mengambil satu kue, Si lelaki juga mengambil satu. Ketika hanya satu kue tersisa, ia bertanya-tanya apa yang akan dilakukan lelaki itu.

Dengan senyum tawa di wajahnya dan tawa gugup,Si lelaki mengambil kue terakhir dan membaginya dua. Si lelaki menawarkan separo miliknya, sementara ia makan yang separonya lagi.

Si wanita pun merebut kue itu dan berpikir Ya ampun orang ini berani sekali, dan ia juga kasar, malah ia tidak kelihatan berterima kasih.

Belum pernah rasanya ia begitu kesal.

Ia menghela napas lega saat penerbangannya diumumkan.

Ia mengumpulkan barang miliknya dan menuju pintu gerbang.Menolak untuk menoleh pada si"Pencuri tak tahu terima kasih!".

Ia naik pesawat dan duduk di kursinya, lalu mencari bukunya, yang hampir selesai dibacanya. Saat ia merogoh tasnya, ia menahan napas dengan kaget. Di situ ada kantong kuenya, di depan matanya.

"Koq milikku ada disini?" erangnya dengan patah hati, Jadi kue tadi adalah miliknya dan ia mencoba berbagi.Terlambat untuk minta maaf, ia tersandar sedih. Bahwa sesungguhnya dialah yang kasar, tak tahu terima kasih dan dialah pencuri kue itu.

Dalam hidup ini kisah pencuri kue seperti tadi sering terjadi. Kita sering berprasangka dan melihat orang lain dengan kacamata kita sendiri. Serta tak jarang kita berprasangka buruk. Orang lainlah yang kasar, orang lainlah yang tak tahu diri, orang lainlah yang berdosa, orang lainlah yang salah.Padahal kita sendiri yang mencuri kue tadi, padahal kita sendiri yang tidak tahu. Kita sering mengomentari, mencemooh pendapat atau gagasan orang lain sementara sebetulnya kita tidak tahu betul permasalahannya.

Sumber: Chicken Soup for the soul
»»  READMORE...