Saturday, December 3, 2011

Kisah Api

Pada zaman dahulu ada seorang yang merenungkan cara
bekerjanya Alam, dan karena ketekunan dan percobaan-
percobaannya, akhirnya ia menemukan bagaimana api diciptakan.

Orang itu bernama Nur. Ia memutuskan untuk berkelana dari satu
negeri ke lain negeri, menunjukkan kepada rakyat banyak tentang
penemuannya.

Nur menyampaikan rahasianya itu kepada berbagai-bagai kelompok
masyarakat. Beberapa di antaranya ada yang memanfaatkan
pengetahuan itu. Yang lain mengusirnya, mengira bahwa ia mungkin
berbahaya, sebelum mereka mempunyai waktu cukup untuk
mengetahui betapa berharganya penemuan itu bagi mereka.
Akhirnya, sekelompok orang yang menyaksikannya memamerkan
cara pembuatan api menjadi begitu ketakutan sehingga mereka
menangkapnya dan kemudian membunuhnya, yakin bahwa ia setan.
Abad demi abad berlalu. Bangsa pertama yang belajar tentang api
telah menyimpan rahasia itu untuk para pendeta, yang tetap
berada dalam kekayaan dan kekuasaan, sementara rakyat
kedinginan.

Bangsa kedua melupakan cara itu, dan malah memuja alat-alat
untuk membuatnya. Bangsa yang ketiga memuja patung yang
menyerupai Nur, sebab ialah yang telah mengajarkan hal itu. Yang
keempat tetap menyimpan kisah api dalam kumpulan dongengnya:
ada yang percaya, ada yang tidak. Bangsa yang kelima benar-benar
mempergunakan api, dan itu bisa menghangatkan mereka, menanak
makanan mereka, dan mempergunakannya untuk membuat alat-alat
yang berguna bagi mereka.

Setelah berpuluh-puluh tahun lamanya, seorang bijaksana dan
beberapa pengikutnya mengadakan perjalanan melalui negeri-negeri
bangsa-bangsa tadi. Para pengikut itu tercengang melihat
bermacam-macamnya upacara yang dilakukan bangsa-bangsa itu;
dan mereka pun berkata kepada gurunya, "Tetapi semua kegiatan
itu nyatanya berkaitan dengan pembuatan api, bukan yang lain.
Kita harus mengubah mereka itu!"

Sang Guru menjawab, "Baiklah. Kita akan memulai lagi perjalanan
ini. Pada akhir perjalanan nanti, mereka yang masih bertahan akan
mengetahui masalah kebenarannya dan bagaimana mendekatinya."
Ketika mereka sampai pada bangsa yang pertama rombongan itu
diterima dengan suka hati. Para pendeta mengundang mereka
menghadiri upacara keagamaan, yakni pembuatan api. Ketika
upacara selesai, dan bangsa itu sedang mengagumi apa yang
mereka saksikan, guru itu berkata, "Apa ada yang ingin
mengatakan sesuatu?"

Pengikut pertama berkata, "Demi Kebenaran, saya merasa harus
menyampaikan sesuatu kepada rakyat ini."

"Kalau kau mau melakukannya atas tanggungan sendiri, silahkan
saja," kata gurunya.

Dan pengikut pertama itupun melangkah ke muka kehadapan
pemimpin bangsa dan para pendeta itu, lalu katanya, "Aku bisa
membuat keajaiban yang kalian katakan sebagai perwujudan
kekuatan dewa itu. Kalau aku kerjakan hal itu, maukah kalian
menerima kenyataan bahwa bertahun-tahun lamanya kalian telah
tersesat?"

Tetapi para pendeta itu berteriak, "Tangkap dia!" dan orang itu pun
dibawa pergi, tak pernah muncul kembali.

Para musafir itu melanjutkan perjalanan, dan sampai di negeri
bangsa yang kedua dan memuja alat-alat pembuatan api. Ada lagi
seorang pengikut yang memberanikan diri mencoba menyehatkan
akal bangsa itu.

Dengan izin gurunya ia berkata, "Saya mohon izin untuk berbicara
kepada kalian semua sebagai bangsa yang berakal. Kalian memuja
alat-alat untuk membuat sesuatu, dan bukan hasil pembuatan itu.
Dengan demikian kalian menunda kegunaannya. Saya tahu
kenyataan yang mendasari upacara ini."

Bangsa itu terdiri dari orang-orang yang lebih berakal. Tetapi
mereka berkata kepada pengikut kedua itu, "Saudara diterima baik
sebagai musafir dan orang asing di antara kami. Tetapi, sebagai
orang asing, yang tak mengenal sejarah dan adat kami, Saudara
tak memahami apa yang kami kerjakan. Saudara berbuat
kesalahan. Barangkali Saudara malah berusaha membuang atau
mengganti agama kami. Karena itu kami tidak mau mendengarkan
Saudara."

Para musafir itu pun melanjutkan perjalanan.
Ketika mereka sarnpai ke negeri bangsa ke tiga, mereka
menyaksikan di depan setiap rumah terpancang patung Nur, orang
pertama yang membuat api. Pengikut ketiga berkata kepada
pemimpin besar itu.

"Patung itu melambangkan orang, yang melambangkan kemampuan,
yang bisa dipergunakan."

"Mungkin begitu," jawab para pemuja Nur, "tetapi yang bisa
menembus rahasia sejati hanya beberapa orang saja."
"Hanya bagi beberapa orang yang mau mengerti, bukan bagi
mereka yang menolak menghadapi kenyataan," kata pengikut ketiga
itu.
"Itu bid'ah kepangkatan, dan berasal dari orang yang bahkan tak
bisa mempergunakan bahasa kami secara benar, dan bukan
pendeta yang ditahbiskan menurut adat kami," kata pendetapendeta
itu. Dan pengikut darwis itupun bisa melanjutkan
usahanya.

Musafir itu melanjutkan perjalanannya, dan sampai di negeri bangsa
keempat. Kini pengikut keempat maju ke depan kerumunan orang.
"Kisah pembuatan api itu benar, dan saya tahu bagaimana
melaksanakannya," katanya.

Kekacauan timbul dalam bangsa itu, yang terpecah menjadi
beberapa kelompok. Beberapa orang berkata, "Itu mungkin benar,
dan kalau memang demikian, kita ingin mengetahui bagaimana
cara membuat api." Ketika orang-orang ini diuji oleh Sang Guru dan
pengikutnya, ternyata sebagian besar ingin bisa membuat api untuk
kepentingan sendiri saja, dan tidak menyadari bahwa bisa
bermanfaat bagi kemajuan kemanusiaan. Begitu dalamnya dongengdongeng
keliru itu merasuk ke dalam pikiran orang-orang itu
sehingga mereka yang mengira dirinya mewakili kebenaran sering
merupakan orang-orang yang goyah, yang tidak akan juga
membuat api bahkan setelah diberi tahu caranya.
Ada kelompok lain yang berkata, "jelas dongeng itu tidak benar.
Orang itu hanya berusaha membodohi kita, agar ia mendapat
kedudukan di sini."

Dan kelompok lain lagi berkata, "Kita lebih suka dongeng itu tetap
saja begitu, sebab ialah menjadi dasar keutuhan bangsa kita. Kalau
kita tinggalkan dongeng itu, dan kemudian ternyata penafsiran baru
itu tak ada gunanya, apa jadinya dengan bangsa kita ini?"
Dan masih banyak lagi pendapat di kalangan mereka.
Rombongan itu pun bergerak lagi, sampai ke negeri bangsa yang
kelima; di sana pembuatan api dilakukan sehari-hari, dan orangorang
juga sibuk melakukan hal-hal lain.

Sang Guru berkata kepada pengikut-pengikutnya, "Kalian harus
belajar cara mengajar, sebab manusia tidak ingin diajar. Dan
sebelumnya, kalian harus mengajar mereka bahwa masih ada saja
hal yang harus dipelajari. Mereka membayangkan bahwa mereka
siap belajar. Tetapi mereka ingin mempelajari apa yang mereka
bayangkan harus dipelajari, bukan apa yang pertama-tama harus
mereka pelajari. Kalau kalian telah mempelajari ini semua, kalian
baru bisa mengatur cara mengajar. Pengetahuan tanpa kemampuan
istimewa untuk mengajarkannya tidak sama dengan pengetahuan
dan kemampuan."
»»  READMORE...

Friday, December 2, 2011

IKAN MAS DAN SEEKOR KODOK

Alkisahnya, ada seekor kodok yang baru saja pergi dari berjalan-jalan di daratan. Ketika kembali berenang di kolam, dia bertemu dengan seekor ikan mas yang telah mengenalnya. “Halo Tuan Kodok, Anda dari mana saja?”,

“Oh, saya baru saja datang dari berjalan-jalan di daratan”,jawab Sang Kodok.

“Daratan? Apa itu daratan? Saya belum pernah mendengar ada tempat yang bernama daratan”.

“Daratan ialah tempat di mana Anda dapat berjalan-jalan diatasnya”, Sang Kodok mencoba menerangkan tentang daratan pada Si Ikan Mas.

“Oh ya, dapat berjalan-jalan diatasnya? Saya tidak percaya bahwa Anda baru saja dari daratan. Menurut saya, tidak ada tempat yang disebut daratan”, Si Ikan Mas membantah dengan sengit.

“Baiklah jika Anda tidak percaya, yang pasti saya tadi memang datang dari daratan”, balas Sang Kodok dengan sabar.

“Tetapi, Tuan Kodok, coba katakan pada saya, apakah daratan itu dapat dibuat gelembung, jika saya bernafas didalamnya?”

“Tidak”.

“Apakah saya dapat menggerakkan sirip-sirip saya didalamnya?”

“Tidak”.

“Apakah tembus cahaya?”

“Tidak”.

“Apakah saya dapat bergerak mengikuti gelombang?”

“Tidak, tentu saja”, jawab Sang Kodok dengan sabar.

“Nah, Tuan Kodok, saya sudah menanyakan Anda tentang daratan, dan semua jawaban Anda adalah “Tidak”, dan itu berarti daratan itu tidak ada”, Si Ikan Mas menjawab dengan perasaan puas.

“Baiklah, jika Anda berkesimpulan seperti itu. Yang jelas, saya tadi memang datang dari daratan dan daratan itu nyata adanya”,Sang Kodok menjawab sambil berlalu.

Si Ikan Mas, karena dia adalah seekor ikan yang hidupnya di air, maka dia tidak pernah mengetahui bahwa ada dunia lain selain dunia airnya. Kareena dia hanya mengenal dunia air, maka semua pertanyaan ynag diajukan tentang daratan, tetap berkaitan dengan dunia air. Sebaliknya Sang Kodok, dia dapat hidup di dua dunia, dunia air dan daratan. Karenanya, Sang Kodok mengerti bahwa ada dunia lain selain dunia air tempat para ikan hidup. Dia mengerti sepenuhnya dunia air, dia juga mengerti sepenuhnya daratan, karena dia sudah mengalami pengalaman empiris di dua dunia itu.

Demikian pula dengan Sang Guru. Guru mengerti sepenuhnya alam duniawi beserta segala fenomenanya dan Nibbana sebagai pembebasan dari segala fenomena. Karena Beliau telah mengalami pengalaman empiris kehidupan duniawi dan pencapaian Nibbana. Kita adalah si ikan mas yang keras kepala. Sepanjang kita belum pernah mengalami pencapaian Nibbana, seberapa hebatnya Sang Guru menerangi tentang Nibbana, kita tak kan mengerti. Bukan berarti Sang Guru gagal mencerahi kita. Kebodohan kita sendirilah yang menghalangi pencerahan yang mestinya terjadi.

Mutiara pencerahan itu ada dalam diri kita.Guru Qta telah menunjukkan jalannya. Kini yang perlu kita lakukan hanyalah meneguhkan hati untuk menjalani jalan yang telah ditunjukkan tersebut. Mengalami sendiri pencapaian Nibbana dan mengerti apakah Nibbana itu dengan sepenuhnya. Dan menjadi orang yang memenangi pertarungan yang sejati.
»»  READMORE...

Thursday, December 1, 2011

DITENGAH BADAI

Pada suatu hari, seperti biasanya kami berkendaraan menuju ke suatu tempat, dan aku yang mengemudi.

Setelah beberapa puluh kilometer, tiba-tiba awan hitam datang bersama angin kencang. Langit menjadi gelap. Kulihat beberapa kendaraan mulai menepi dan berhenti.

"Bagaimana Ayah? Kita berhenti?", aku bertanya.

"Teruslah mengemudi!", kata Ayah.

Aku tetap menjalankan mobilku.

Langit makin gelap, angin bertiup makin kencang. Hujanpun turun. Beberapa pohon bertumbangan, bahkan ada yang diterbangkan angin. Suasana sangat menakutkan.
Kulihat kendaraan-kendaraan besar juga mulai menepi dan berhenti.

Aku tetap mengemudi dengan bersusah payah. Hujan lebat menghalangi pandanganku sampai hanya berjarak beberapa meter saja.

Anginpun mengguncang-guncangkan mobil kecilku. Aku mulai takut. Tapi aku tetap mengemudi walaupun sangat perlahan.

Setelah melewati beberapa kilometer ke depan, kurasakan hujan mulai mereda dan angin mulai berkurang.

Setelah beberapa killometer lagi, sampailah kami pada daerah yang kering dan kami melihat matahari bersinar muncul dari balik awan.

"Silahkan kalau mau berhenti dan keluarlah", kata Ayah tiba-tiba.

"Kenapa sekarang?", tanyaku heran.

"Agar engkau bisa melihat dirimu seandainya engkau berhenti di tengah badai".

Aku berhenti dan keluar. Kulihat jauh di belakang disana badai masih berlangsung.

Aku membayangkan mereka yang terjebak di sana dan berdoa, semoga mereka selamat.

Dan aku mengerti bahwa jangan pernah berhenti di tengah badai karena akan terjebak dalam ketidak-pastian dan ketakutan kapan badai akan berakhir serta apa yang akan terjadi selanjutnya.


Jika kita sedang menghadapi "badai" kehidupan, teruslah berjalan, jangan berhenti, jangan putus asa karena kita akan tenggelam dalam keadaan yang terus kacau, menakutkan dan penuh ketidak-pastian.

Lakukan saja apa yang dapat kita lakukan, dan yakinkan diri bahwa badai pasti berlalu !
»»  READMORE...

ATURAN SEDERHANA BERBAHAGIA

Seorang lelaki berumur 92 tahun yang mempunyai selera tinggi, percaya diri, dan bangga akan dirinya sendiri, yang selalu berpakaian rapi setiap hari sejak jam 8 pagi, dengan rambutnya yang teratur rapi meskipun dia buta, masuk ke panti jompo hari ini. Istrinya yang berumur 70 tahun baru-baru ini meninggal, sehingga dia harus masuk ke panti jompo.

Setelah menunggu dengan sabar selama beberapa jam di lobi, Dia tersenyum manis ketika diberi tahu bahwa kamarnya telah siap. Ketika dia berjalan mengikuti penunjuk jalan ke elevator, aku menggambarkan keadaan kamarnya yang kecil, termasuk gorden yang ada di jendela kamarnya.

“ Saya menyukainya” , katanya dengan antusias seperti seorang anak kecil berumur 8 tahun yang baru saja mendapatkan seekor anjing.

“ Pak, Anda belum melihat kamarnya, tahan dulu perkataan tersebut” .

“ Hal itu tidak ada hubungannya” , dia menjawab.

“ Kebahagiaan adalah sesuatu yang kamu putuskan di awal. ...

Apakah aku akan menyukai kamarku atau tidak, tidak tergantung dari bagaimana perabotannya diatur tapi bagaimana aku mengatur pikiranku. Aku sudah memutuskan menyukainya. Itu adalah keputusan yang kubuat setiap pagi ketika aku bangun tidur.

Aku punya sebuah pilihan; aku bisa menghabiskan waktu di tempat tidur menceritakan kesulitan-kesulitan yang terjadi padaku karena ada bagian tubuhnya yang tidak bisa berfungsi lagi, atau turun dari tempat tidur dan berterima kasih atas bagian-bagian yang masih berfungsi.

Setiap hari adalah hadiah, dan selama mataku terbuka, aku akan memusatkan perhatian pada hari yang baru dan semua kenangan indah dan bahagia yang pernah kualami dan kusimpan. Hanya untuk kali ini dalam hidupku.

Umur yang sudah tua adalah seperti simpanan dibank. Kita akan mengambil dari yang telah kita simpan. Jadi, nasehatku padamu adalah untuk menyimpan sebanyak-banyaknya kebahagiaan di bank kenangan kita.

Terima kasih padamu yang telah mengisi bank kenanganku. Aku sedang menyimpannya “ .


Ingat-ingatlah lima aturan sederhana untuk menjadi bahagia:

1. Bebaskan hatimu dari rasa benci.
2. Bebaskan pikiranmu dari segala kekhawatiran.
3. Hiduplah dengan sederhana.
4. Berikan lebih banyak (give more)
5. Jangan terlalu banyak mengharap (expectless).
»»  READMORE...

Wednesday, November 30, 2011

MENGAPA HARUS BERTERIAK ?

Suatu hari sang guru bertanya kepada murid-muridnya : "Mengapa ketika seseorang sedang dalam keadaan marah, ia akan berbicara dengan suara kuat atau berteriak?"

Seorang murid setelah berpikir cukup lama mengangkat tangan dan menjawab: "Karena saat seperti itu ia telah kehilangan kesabaran, karena itu ia lalu berteriak."

" Tapi..." sang guru balik bertanya, "lawan bicaranya justru berada disampingnya. Mengapa harus berteriak? Apakah ia tak dapat berbicara secara halus?"

Hampir semua murid memberikan sejumlah alasan yang dikira benar menurut pertimbangan mereka. Namun tak satupun jawaban yang memuaskan.

Sang guru lalu berkata: "Ketika dua orang sedang berada dalam situasi kemarahan, jarak antara ke dua hati mereka menjadi amat jauh walau secara fisik mereka begitu dekat. Karena itu, untuk mencapai jarak yang demikian, mereka harus berteriak.

Namun anehnya, semakin keras mereka berteriak, semakin pula mereka menjadi marah dan dengan sendirinya jarak hati yang ada di antara keduanya pun menjadi lebih jauh lagi. Karena itu mereka terpaksa berteriak lebih keras lagi."

Sang guru masih melanjutkan : "Sebaliknya, apa yang terjadi ketika dua orang saling jatuh cinta?

Mereka tak hanya tidak berteriak, namun ketika mereka berbicara suara yang keluar dari mulut mereka begitu halus dan kecil. Sehalus apapun, keduanya bisa mendengarkannya dengan begitu jelas. Mengapa demikian? " Sang guru bertanya sambil memperhatikan para muridnya.

Mereka nampak berpikir amat dalam namun tak satupun berani memberikan jawaban.

"Karena hati mereka begitu dekat, hati mereka tak berjarak. Pada akhirnya sepatah katapun tak perlu diucapkan. Sebuah pandangan mata saja amatlah cukup membuat mereka memahami apa yang ingin mereka sampaikan."

Sang guru masih melanjutkan : "Ketika anda sedang dilanda kemarahan, janganlah hatimu menciptakan jarak. Lebih lagi hendaknya kamu tidak mengucapkan kata yang mendatangkan jarak di antara kamu. Mungkin di saat seperti itu, tak mengucapkan kata-kata mungkin merupakan cara yang bijaksana. Karena waktu akan membantu anda."
»»  READMORE...

Monday, November 28, 2011

ANGIN DAN BULAN ( Persahabatan)

Pada suatu ketika, ada dua teman baik yang hidup bersama di sebuah tempat berteduh dari batu. Ini mungkin terlihat aneh, satunya adalah seekor singa dan yang satu lagi seekor macan. Mereka sudah bertemu sejak mereka masih terlalu muda untuk mengetahui perbedaan antara singa dan macan. Jadi mereka tidak berpikir sama sekali kalau persahabatan mereka itu luar biasa. Ditambah lagi, tempat itu adalah bagian dari gunung-gunung yang tentram. Barang kali karena pengaruh dari seorang bhikkhu hutan lemah lembut yang tinggal di dekat tempat itu. Ia adalah seorang petapa yang tinggal jauh dari penduduk.

Untuk beberapa alasan yang tidak diketahui, suatu hari dua orang teman tersebut masuk ke dalam perbedaan pendapat yang bodoh.

Si Macan berkata, “Setiap orang tahu kalau rasa dingin datang ketika bulan susut dari purnama ke bulan mati.”

Si Singa berkata, “Dari mana kau mendengar omong kosong tersebut?” “Setiap orang tahu kalau rasa dingin datang ketika bulan bertambah besar dari bulan mati ke purnama!”

Percecokan itu menjadi kuat dan kuat. Tidak ada satu pun yang dapat menyakinkan yang lainnya. Mereka tidak dapat menghasilkan kesimpulan apa pun untuk menyelesaikan perdebatan yang semakin membesar itu. Mereka bahkan mulai memanggil nama masing-masing satu sama lainnya! Khawatir akan persahabatannya, mereka memutuskan untuk pergi dan bertanya kepada bhikkhu hutan terpelajar yang pasti akan tahu tentang hal semacam itu.

Singa dan macan Mengunjungi si petapa yang penuh ketenangan, mereka menunduk memberi hormat dan menanyakan pertanyaan mereka kepadanya. Si Bhikkhu yang bersahabat tersebut berpikir sejenak dan kemudian memberikan jawabannya, “Bisa saja dingin pada bentuk bulan apa pun, dan bulan mati ke bulan purnama dan kembali ke bulan mati lagi. Anginlah yang membawa rasa dingin, apakah itu dari barat, utara ataupun timur. Untuk itu, sedikit banyak kalian berdua benar! Dan tidak ada satu pun dari kalian yang dikalahkan oleh yang lainnya. Hal yang paling penting adalah hidup tanpa perselisihan, untuk tetap bersatu. Kebersamaan tentu saja adalah yang terbaik.”

Singa dan Macan berterima kasih kepada petapa yang bijaksana. Mereka bahagia masih menjadi teman.


Pesan moral : Cuaca datang dan pergi (berubah-ubah), namun persahabatan harus tetap terjalin.
»»  READMORE...